Di sebuah malam, yang dingin dan kelam...
Di sebuah ruko aku berada. Lantai tiga tepatnya. Tugas-tugas menanti untuk diselesaikan bersama. Canda dan tawa mewarnai di beberapa masa. Hingga...
... malam kembali menjemput. Malam yang gelap. Malam yang dingin. Aku menatap layar notebook-ku tanpa tujuan. Dan tanpa kusadari, semua orang di sini telah terlelap. Kesadaran yang hilang ditelan keheningan.
Sendiri. Kembali sendiri aku di sini. Dengan ditemani alunan manis, namun menyimpan kesedihan, dari lagu tema seorang karakter wanita di sebuah permainan. Permainan masa kecil yang penuh kenangan.
Kenangan...
Aku teringat akan mimpiku pagi ini. Aku ingat bahwa aku melihat dia. Melihat dia bermain permainan yang paling kusuka. Aku merangkulnya, mencoba memberi kehangatan. Ia tersenyum. Sangat manis. Senyum yang terpapar saat itu adalah senyum yang akan selalu kurindukan. Aku pun tersenyum. Aku bahagia.
Hanya mimpi.
Aku terbangun dan kembali menatap realita. Lalu bersiap diri untuk menuju peraduan. Salah satunya adalah untuk mendengarkan cerita seorang teman. Ya, sebuah cerita tentangnya.
Kutemui dirinya. Dan ia pun mulai bercerita. Tentang persepsi. Tentang asumsi. Tentang probabilitas yang menghantui. Tentang dirimu, Dewi.
Sedih rasanya saat menyadari bahwa aku sangat merindukan masa itu. Kini, masa itu telah menjadi mimpi. Dan mimpiku, telah berubah, mungkin 178 derajat, menjadi kenyataan yang ada saat ini.
Dulu, senyum manis itu selalu menghiasi dirimu. Tawa lepas seringkali kudengar darimu, dan bahagia pula bagi diriku. Rasa cinta itu hadir di antara kita.
Kini, yang kurasa mengelilingiku adalah benci. Pandangan-pandangan mata yang penuh dengki. Bahkan, aku tak yakin jika kau masih menganggapku sebuah entitas di dunia ini.
Aku jujur muak dengan semua ini. Aku muak dengan sosokmu. Aku muak dengan semua perubahan itu. Aku muak saat diriku dianggap sebagai bukan sebuah entitas nyata. Aku tidak tahu mengapa. Mengapa seseorang dapat berubah 178 derajat dalam seketika? Atau "seketika"-ku adalah "lama" bagi mereka?
Namun tidak seorangpun dapat membohongi nuraninya sendiri. Ya, aku masih menyukainya. Aku masih menyayanginya. Entah, mungkin panah itu tertancap terlalu dalam di hatiku? Dalam sepi, aku masih selalu memandangnya. Perih. Namun ku tak bisa berhenti memandanginya. Hanya ingin melihat apakah ia baik-baik saja? Apakah ia bahagia? Hanya ingin sekedar melepas rindu. Rindu akan senyuman manis itu. Rindu akan tawa bersamaku.
Dan fakta itulah yang paling membuatku muak: fakta bahwa aku masih menyayanginya.
Mungkin belum saatnya aku kembali. Atau mungkin memang tak akan pernah ada saatnya untukku kembali. Mungkin sebenarnya tidak ada yang salah. Mungkin semua kebencian itu hanyalah asumsi dari hati yang sepi. Namun, mungkin juga semua itu nyata. Kini aku hanya bisa berserah kepada-Nya. Percayakan segala pada-Nya. Saat itu pasti akan datang. Saat pembuktian. Saat aku dapat kembali, atau aku dapat pergi tanpa berat hati.
Malam ini menjadi saksi. Di balik semua perasaan benci ini, rasa itu masih selalu hadir di hati. And fact is, I'm still loving you.
nais gan, menyentuh hati
ReplyDelete